IQNA

IQNA:

Intensifikasi Ekstremisme di bawah Naungan Islamofobia dan Perang Barat

15:17 - November 19, 2020
Berita ID: 3474793
TEHERAN (IQNA) - Beberapa studi menunjukkan bahwa pembentukan dan penerimaan kelompok ekstremis di beberapa masyarakat Barat berakar pada kebijakan Islamofobia masyarakat tersebut, dan kebijakan AS untuk menyulut perang di Timur Tengah juga memainkan peran penting dalam pembentukan kelompok ekstremis tersebut.

IQNA melaporkan, serangan teroris di Paris dan Nice, Perancis dan ibu kota Austria yang dilakukan oleh gerakan ekstremis dan individu atas nama Islam menimbulkan pertanyaan di manakah akar dari pembentukan kelompok ekstremis dan takfiri? Dan mengapa kelompok teroris seperti ISIS disambut oleh beberapa anak muda Eropa?

Hegemoni Amerika, faktor ekstremisme

Meskipun tempat kelahiran sebagian besar takfiri dan kelompok ekstremis di Timur Tengah, namun tidak boleh dilupakan bahwa kekerasan dan ekstremisme semacam ini memiliki akar yang dalam pada kebijakan dan program negara-negara Barat. Kelompok poros kekuasaan dan kekerasan telah menjadi ciri yang menonjol dari interaksi Barat dengan dunia Islam, terutama sejak awal era kolonial, yang terus berlanjut di periode-periode selanjutnya, terutama di abad ke-20.

Amerika Serikat membutuhkan permusuhan baru untuk mempertahankan dominasi politiknya di dunia setelah Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet. Karenanya, Islamofobia menjadi alat penting dalam membangun dan memperkuat identitas Barat. Tetapi yang penting adalah bahwa kekerasan Barat secara langsung mengarah pada gerakan ekstremisme di dunia Islam.

Sejarah Salafisme dan deduksi reaksioner tentang agama kembali pada gerakan hadisisme dalam sejarah Islam, namun tidak diragukan alasan yang menyebabkan di era modern ideologi ini pertama kali menyebabkan munculnya Wahabisme di suku-suku primitif Arab Saudi dan kemudian menyebar di dunia Islam, maka harus dikaji di luar Islam. Sebagaimana sekte Wahabisme tidak lebih dari ide-ide Khawarij di era awal Islam, penggunaan ide ini oleh Inggris menyulut perang di dunia Islam.

Peran kebijakan-kebijakan berperang

Dalam beberapa dekade terakhir, pendudukan militer Soviet di Afganistan pada tahun 1980 dan persaingan AS dengan negara tersebut telah menjadi titik balik utama dalam pembentukan kelompok ekstremis di dunia Islam. Ahli strategi Barat telah bekerja keras untuk mengalihkan kapasitas ini ke kepentingan strategis mereka. Oleh karena itu, dengan dimulainya invasi Soviet ke Afganistan, Amerika Serikat bertekad untuk mengubah negara ini menjadi Vietnam lain, tetapi kali ini untuk Uni Soviet. Karena alasan ini, Amerika Serikat menjalankan kebijakannya dengan tegas mendukung Mujahidin Arab-Afganistan, dan menyebut mereka "pejuang/mujahid kemerdekaan".

Sejatinya, apa yang mengubah identitas dan pola pikir Salafi menjadi inti organisasi, tidak diragukan lagi adalah berbagi kepentingan Barat dengan para ekstremis ini. Karenanya, setelah perang berakhir, Taliban, dengan bantuan Pakistan dan Amerika Serikat serta pembiayaan Arab Saudi, menjadi kekuatan militer yang efektif dan mampu merebut kekuasaan di Afganistan. Hubungan rahasia antara Amerika Serikat dan Taliban telah membuat banyak orang menganggap CIA dan Departemen Luar Negeri sebagai ayah angkat Taliban.

Intensifikasi Ekstremisme di bawah Naungan Islamofobia dan Perang Barat

Di sisi lain, Osama bin Laden, dalam menanggapi invasi AS ke tanah-tanah Islam dalam Perang Teluk Persia, mengejar gagasan untuk menciptakan front jihad global, yang mengarah pada pembentukan Front Jihad Internasional melawan Yahudi dan Salibian (dikenal sebagai al-Qaeda). Akhirnya, fokus pada musuh Amerika menyebabkan al-Qaeda melakukan serangan teroris terhadap kepentingan Amerika Serikat. Serangan terhadap Menara Kembar Perdagangan Dunia di Amerika Serikat, operasi teroris terbesar di awal abad ke-21, mendorong Barat menggunakan ruang tersebut untuk menggambarkan semua Islam sebagai teroris, jihadis, radikal, dan fundamentalis, dengan adanya kemiripan yang diklaim dengan ancaman-ancaman komunisme pada abad kedua puluh dan Islamisme pada awal abad kedua puluh satu.

Oleh karena itu, invasi ke Afganistan dan Irak menjadi agenda AS, tetapi invasi ke Afganistan menyebabkan meningkatnya ancaman bunuh diri dengan membubarkan kelompok-kelompok jihadis, yang menghasilkan keputusan untuk menyerang Irak. Pendudukan Irak juga menyebabkan konsentrasi para ekstremis di Irak dan transformasi bom bunuh diri menjadi metode utama jihad.

Intensifikasi Ekstremisme di bawah Naungan Islamofobia dan Perang Barat

Dengan permulaan krisis Suriah, Barat sekali lagi, seperti pada 1980-an, mencoba menggunakan kapasitas yang disebut jihadis Salafi, kali ini melawan pemerintah Suriah, untuk melemahkan front perlawanan dan menciptakan rintangan bagi Revolusi Islam Iran. Karenanya, "Negara Islam Irak dan Syam" (ISIS), yang dipimpin oleh "Abu Bakr al-Baghdadi", mencoba memperluas lingkup otoritasnya ke Suriah, dan karenanya, menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Syam, atau ISIS.

Salah satu ciri terpenting ISIS adalah kehadiran signifikan pemuda Eropa dalam kelompok ini. Ciri ini merupakan fenomena baru yang muncul seluruhnya sehubungan dengan dimensi simbolik kekerasan struktural Barat. Dengan kata lain, kebangkitan Wahabisme, al-Qaeda, dan Taliban terkait dengan kekerasan fisik dan kepentingan strategis mereka di dunia Islam, tetapi dalam kasus ISIS, sementara kelompok tersebut merupakan produk dari kekerasan fisik Barat, kehadiran para pemuda Eropa disini lebih mencerminkan pengaruh lebih budaya dominasi Barat. Situasi ini adalah hasil dari kebijakan pemaksaan dan penghinaan budaya Barat, yang dengan mengganggu pembangunan identitas pribumi, menciptakan krisis identitas dan makna yang meluas di berbagai masyarakat dunia dan memberikan landasan yang sangat baik untuk ekstremisme.

Peran Islamofobia dalam pertumbuhan gerakan ekstremis

Dalam beberapa dekade terakhir, ribuan orang Barat telah tertarik pada kelompok teroris melalui konten online. Sebuah studi kasus terhadap ratusan pendukung ISIS di Perancis, Inggris, Jerman, dan Belgia yang diterbitkan oleh University of Cambridge pada 2018 menemukan bahwa permusuhan anti-Islam di tingkat lokal terkait langsung dengan kecenderungan individu pada kelompok-kelompok kekerasan di dunia maya, khususnya Twitter. (hry)

Intensifikasi Ekstremisme di bawah Naungan Islamofobia dan Perang Barat

3935623

captcha